Monday, December 05, 2005

Joe Ragan

Biasanya setiap hari pulang kerumah dari tempat kerja, aku selalu berjalan dari stasion Subway langsung kerumah. Tapi hari itu, mungkin karena hari bagus, suhu udara limapuluhan derajat, aku berjalan santai. Aku berhenti didepan kedai kopi, terasa ada keinginan untuk minum kopi dan makan kueh.
Kubuka pintu kedai kopi, kucium bau kopi segar mengisi seluruh ruangan .Kulihat ada beberapa orang antre didepan counter.
Begitu satu langkah aku berjalan masuk, mataku bertemu pandang dengan mata seseorang priya sudah berumur. Aku mengangguk dan diapun ikut mengangguk. Dari raut mukanya, pasti dia orang setanah air atau berasal dari Pilipina.
Mudah-mudahan saja Bapak itu orang sekampung, aku menyapanya dengan memperkenalkan diriku.
"Mengenalkan, nama saya Waluya. kalau teman-teman sih memanggilnya Yo-yo" kataku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Tangan saya diterimanya, dan kami bersalaman.
" Nama saya, Ragan, .....Joe Ragan " sahutnya dengan singkat.
Dalam hati saya berkata, hebat juga nih kawan satu ini. Mendengar namanya sih 100% nama Amerika. Tetapi melihat wajah dan badannya, cocok kalau namanya, Sami'un atau Darmawan. Dari logatnya saya dapat menerka ini asal Bogor, Depok atau Bandung. Hidungnya disebut mancung yah tidak, disebut pesekpun tidak. Kulitnya agak kekuning-kuningan, mata kelihatan agak sipit. Mungkin ada keturunan Cinanya, tetapi darah pribuminya kelihatan lebih kental.
"Sudah lama menetap di Amerika, Pak" tanyaku mencoba menjalin suatu percakapan dengannya.
"Sudah, hampir separuh abad" sahutnya.
Kemudian kami berjalan mendekati counter, dia memesan kopi dan beberapa biji Donut. Ada yang chocolate covered, glazed, jelly dan old fashion. Dibawanya semua Donut itu kemeja dimana kita akan duduk.
" Hayo, mari kita duduk bersama dan makan “donut” -nya, Anda beli kopi saja, donut-nya sudah saya beli" katanya.
” Kita duduk dimeja dekat jendela” ucapnya seolah-olah memberi komando.
Walaupun namanya 100% nama Amerika, saya percaya bahwa jiwa dan tabiatnya 100% melayu. Ramah tamahnya dan gaya berkatanya menunjukkan bahwa Bapak ini pernah masuk sekolah tinggi atau Pesantren.
Dengan kopi ditangan kanan dan bungkusan gula dan napkin ditangan kiri, saya menuju kemeja pilihannya.
"Silahkan, yang mana Anda mau, ambil duapun tidak apa-apa" katanya sambil menyeruput kopinya.
"Terima kasih Pak, saya ambil ini yang coklat kelihatannya enak" jawabku mencoba agar suasana menjadi ramah. Sehabis dia meminum kopinya, dia menengok kearah pintu masuk. Seorang priya manula membuka pintu dan masuk dengan perlahan-lahan. Jarak dari pintu masuk ke counter ada kira-kira lima meter, orang tua itu berjalan dengan perlahan sekali dibantu oleh tongkat. Dia berdiri dibelakang seorang wanita menunggu dengan sabarnya sampai gilirannya dilayani. Dengan tidak sadar kami berdua mengamati si kakek itu mulai dia masuk kekedai kopi ini, berjalan ke counter, membeli dua donut dan kembali keluar.
“Bung Apa melihat tadi si kakek masuk dan membeli donut” tanyanya.
“ Iya, saya perhatikan. Tetapi kelihatannya biasa saja” jawabku dengan tenang.
Dia meminum kopinya dengan hati-hati, rupanya kopinya masih panas.
“Orang disini semuanya kurang ajar” tiba-tiba dia berbicara.
“Karena apa begitu, Pak ?, apa itu kesimpulam Bapak mengenai orang-orang disini setelah menetap separuh abad lebih ?” tanyaku.
Barangkali si Bapa ini hidupnya sendirian, tak ada sanak saudara. Tiada orang yang mendengarkan keluh kesahnya, atau berbicara bertukar pikiran.
“ Ya tidak semuanya, tetapi itu yang didepan si kakek itu, lha menawarkan tempatnya diambil agar dia dapat dilayanani dengan segera.” ucapnya dengan nada agak marah. Dia menggeser kursinya, kemudian berdiri dan berjalan kearah counter mengambil beberapa helai napkins. Setelah kembali ketempat duduknya, dia melanjutkan pembicaraanya:
” Betul tidak Bung, khan si kakek itu hanya membeli dua donut saja, berapa lama sih, lima menit tidak sampai ” katanya dengan kesal..
Saya hanya tersenyum sambil mengangguk, mengiyakan apa yang dia katakan.Dia menghela nafas dalam-dalam, kemudian dia berkata:
” Dalam masyarakat modern, anak mudanya tidak menghormati orang tua”.
Dia menyeruput kopi panasnya, dan sekali-sekali menggigit donutnya dan menelan dengan perlahan-lahan, seolah-olah menikmati donut yang sepertinya sudah lama diinginkannya. "Jangan menjadi tua disini Bung, kalau bisa menghabisi hari tua lebih baik dikampung” katanya dengan suara agak keras.
Rupanya dia khawatir apa yang akan terjadi dengannya dikemudian hari. Mengingat diapun sudah berumur, dan dengan keterangannya itu saya sekarang tahu persis bahwa si Bapak ini hidup sendirian. Kesepian itu rupanya karena kehangatan kepada orang lain sudah lama dikubur dalam-dalam dihatinya, mungkin pernah mengalami kekecewaan. Patah hati atau ditinggal mati kawan karibnya.
Saya hanya menjawab singkat :
” Oh begitu Pak, karena apa Pak ?” saya bertanya kembali.
Sengaja saya menjawab dengan singkat agar banyak waktu untuk dia berbicara dan mengeluarkan isi hatinya.
“Mau donut lagi Bung, atau mau saya pesankan sandwich atau croissant” tanyanya padaku.
“ Oh tak usah Pak ini sudah cukup banyak,” jawabku.
“Tapi kalau Bapak mau pesan kopi lagi silahkan, saya masih banyak waktu, belum mau pulang” kataku memberikan kesempatan bagi dia untuk lebih lama duduk dikedai Donut ini.
Dia berdiri dan memesan kopi lagi dan kembali duduk ditempat semula. Setelah dia mengocok-ngocok kopinya dengan Sweet and Low pengganti gula. Disitu saya tahu bahwa si Bapak ini setidak-tidaknya mempunyai penyakit gula. Juga rupanya dengan memesan kopi lagi, dia sudah merasa tidak kaku lagi untuk meneruskan percakapannya dengan saya.
Tawaranku untuk membeli kopi lagi diterimanya bahwa saya ingin mendengarkan ceriteranya lebih lanjut.
“Lebih baik kalau sudah tua pulang kampung” katanya singkat.
“ Disini kalau sudah tua dianggap tak berarti, oleh masyarakat. Seperti si kakek tadi, tiada ada orang yang perduli” dia berhenti berbicara dan mengambil nafas panjang..
” Juga bagi anak cucu merupakan beban saja. Kadang-kadang dibuangnya di Nursing Home jauh disana diFlorida" ujarnya pula dengan rasa cemas, sepertinya akan terjadi dengan dia.
“Hidup sebagai “veggie” hanya menunggu waktu”, keluhnya sambil memilih donut yang mana yang akan dia makan.
Tersisa yang glazed dan yang old fashion dimeja.
“Tapi anehnya, kalau waktunya hampir datang, buru-buru diselamatkan, masuk Hospital di Emergency” ucapnya dengan penuh keseriusan.
Aku tidak berbicara mengiyakan, hanya aku tatap mukanya menunggu apa yang akan diucapkan selanjutnya.
“Segala peralatan yang mutakhir dipakai untuk menyelamatkannya agar kembali bernafas. Setelah bernafas dikembalikan ke kamarnya, disuruh bernafas pakai mesin.” ujarnya lagi.
Dia menghela nafas dalam-dalam, seolah-olah dia membayangkan keadaan seperti itu akan terjadi dengan dirinya.
“ Orang sudah sakitan, napas seninkemis, umurpun sudah sembilan puluhan masih juga diselamatkan. Barangkali kalau sudah mati, tidak dapat menagih ongkos tinggal kepada keluarganya atau kepemerintah.” katanya dengan nada sinis.
Dia berbicara dengan semangat, seperti sungai yang dibendung kemudian bendungannya pecah, air mengalir dengan derasnya.
Kami berhenti berbicara, saya memikirkan kata-katanya itu memang ada benarnya juga.
Si Bapak rupanya merasa kaget berbicara dengan leluasa dengan saya, padahal kami baru berkenalan kurang dari setengah jam. Buru-buru dia menghabiskan donut yang ditangannya dan disusul dengan meminum kopi.
Rupanya dia baru sadar bahwa dia berbicara dengan orang lain yang dia tak kenal sama sekali. Juga aku baru sadar nampaknya dia agak gugup, untuk membuat suasana lebih akrab lagi, saya memulai percakapan dengan bertanya:
“Kapan Bapak akan pulang ke tanah air ,Pak. Ada rencana untuk pulang” tanyaku lagi.
“ Oh iya, begitu mendapat social security umur 65 akan saya pulang ke kampung. Dan uangnya akan saya ambil diKedutaan Amerika di Jakarta” sahutnya.
“Saya akan bayar orang untuk mengurus saya siang malam. Saya kira saya sanggup membayar beberapa orang “ sahutnya dengan serius sekali.
“Biarlah menjadi orang asing dikampung sendiri, dari pada menjadi orang asing dinegara asing”katanya.
Kemudian dia membersihkan meja dari sisa-sisa donut yang terhampar dimeja, dia berdiri menuju ke tong sampah untuk membuang coffee cup dan kertas napkin. Dia kembali duduk ditempat semula.
” Kita ini sudah mempunyai peradaban ribuan tahun sebelum orang-orang ini tahu beradab. Lihatlah, Candi Borobudur, Candi Prambanan itu suatu bukti. Tapi karena lupa akan kebudayaan sendiri dan mencontoh peradaban Barat yang mementingkan uang saja, begitulah, tidak disini tidak ditanah air, dikota-kota besar dimanapun sama saja.” katanya dengan suara seakan-akan memberi nasihat sebagai seorang Bapak kepada anaknya.
“ Saya akan pulang jauh digunung, jauh dari keramaian kota” katanya dengan nada datar.
“ Wah sudah malam Pak, saya permisi mau pulang. Besok harus bekerja pagi-pagi.” ujarku memotong pembicaraannya.
Kami bersalaman berpisah, dia mencatat nama , alamat dan nomor tilponku. Juga aku mendapatkan keterangan yang sama. Suatu waktu akan aku hubungi lagi untuk minum kopi dan jajan kueh-kueh.
Akan aku ajak ke Kam Lun, disana banyak pilihan kueh-kuehnya.Dalam perjalanan pulang kerumah, aku berpikir rupanya dalam hidup mengembara ini suatu waktu akan teringat akan kampung sendiri. Mungkin kata “tanah tumpah darah” mempunyai arti yang kuat didalam hati dan benak seseorang. Apalagi kta sebaga seorang timur, kata orang tua dulu-dulu, dimana jabang bayi dikubur kesitu tempat kita berpulang.
Teringat kata-kata Bapak itu, hidup sebagai “veggie”, sendirian, tak ada sanak saudara, membuat bulu diseluruh badan berdiri.


*****oOo*****