Monday, December 05, 2005

Joe Ragan

Biasanya setiap hari pulang kerumah dari tempat kerja, aku selalu berjalan dari stasion Subway langsung kerumah. Tapi hari itu, mungkin karena hari bagus, suhu udara limapuluhan derajat, aku berjalan santai. Aku berhenti didepan kedai kopi, terasa ada keinginan untuk minum kopi dan makan kueh.
Kubuka pintu kedai kopi, kucium bau kopi segar mengisi seluruh ruangan .Kulihat ada beberapa orang antre didepan counter.
Begitu satu langkah aku berjalan masuk, mataku bertemu pandang dengan mata seseorang priya sudah berumur. Aku mengangguk dan diapun ikut mengangguk. Dari raut mukanya, pasti dia orang setanah air atau berasal dari Pilipina.
Mudah-mudahan saja Bapak itu orang sekampung, aku menyapanya dengan memperkenalkan diriku.
"Mengenalkan, nama saya Waluya. kalau teman-teman sih memanggilnya Yo-yo" kataku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Tangan saya diterimanya, dan kami bersalaman.
" Nama saya, Ragan, .....Joe Ragan " sahutnya dengan singkat.
Dalam hati saya berkata, hebat juga nih kawan satu ini. Mendengar namanya sih 100% nama Amerika. Tetapi melihat wajah dan badannya, cocok kalau namanya, Sami'un atau Darmawan. Dari logatnya saya dapat menerka ini asal Bogor, Depok atau Bandung. Hidungnya disebut mancung yah tidak, disebut pesekpun tidak. Kulitnya agak kekuning-kuningan, mata kelihatan agak sipit. Mungkin ada keturunan Cinanya, tetapi darah pribuminya kelihatan lebih kental.
"Sudah lama menetap di Amerika, Pak" tanyaku mencoba menjalin suatu percakapan dengannya.
"Sudah, hampir separuh abad" sahutnya.
Kemudian kami berjalan mendekati counter, dia memesan kopi dan beberapa biji Donut. Ada yang chocolate covered, glazed, jelly dan old fashion. Dibawanya semua Donut itu kemeja dimana kita akan duduk.
" Hayo, mari kita duduk bersama dan makan “donut” -nya, Anda beli kopi saja, donut-nya sudah saya beli" katanya.
” Kita duduk dimeja dekat jendela” ucapnya seolah-olah memberi komando.
Walaupun namanya 100% nama Amerika, saya percaya bahwa jiwa dan tabiatnya 100% melayu. Ramah tamahnya dan gaya berkatanya menunjukkan bahwa Bapak ini pernah masuk sekolah tinggi atau Pesantren.
Dengan kopi ditangan kanan dan bungkusan gula dan napkin ditangan kiri, saya menuju kemeja pilihannya.
"Silahkan, yang mana Anda mau, ambil duapun tidak apa-apa" katanya sambil menyeruput kopinya.
"Terima kasih Pak, saya ambil ini yang coklat kelihatannya enak" jawabku mencoba agar suasana menjadi ramah. Sehabis dia meminum kopinya, dia menengok kearah pintu masuk. Seorang priya manula membuka pintu dan masuk dengan perlahan-lahan. Jarak dari pintu masuk ke counter ada kira-kira lima meter, orang tua itu berjalan dengan perlahan sekali dibantu oleh tongkat. Dia berdiri dibelakang seorang wanita menunggu dengan sabarnya sampai gilirannya dilayani. Dengan tidak sadar kami berdua mengamati si kakek itu mulai dia masuk kekedai kopi ini, berjalan ke counter, membeli dua donut dan kembali keluar.
“Bung Apa melihat tadi si kakek masuk dan membeli donut” tanyanya.
“ Iya, saya perhatikan. Tetapi kelihatannya biasa saja” jawabku dengan tenang.
Dia meminum kopinya dengan hati-hati, rupanya kopinya masih panas.
“Orang disini semuanya kurang ajar” tiba-tiba dia berbicara.
“Karena apa begitu, Pak ?, apa itu kesimpulam Bapak mengenai orang-orang disini setelah menetap separuh abad lebih ?” tanyaku.
Barangkali si Bapa ini hidupnya sendirian, tak ada sanak saudara. Tiada orang yang mendengarkan keluh kesahnya, atau berbicara bertukar pikiran.
“ Ya tidak semuanya, tetapi itu yang didepan si kakek itu, lha menawarkan tempatnya diambil agar dia dapat dilayanani dengan segera.” ucapnya dengan nada agak marah. Dia menggeser kursinya, kemudian berdiri dan berjalan kearah counter mengambil beberapa helai napkins. Setelah kembali ketempat duduknya, dia melanjutkan pembicaraanya:
” Betul tidak Bung, khan si kakek itu hanya membeli dua donut saja, berapa lama sih, lima menit tidak sampai ” katanya dengan kesal..
Saya hanya tersenyum sambil mengangguk, mengiyakan apa yang dia katakan.Dia menghela nafas dalam-dalam, kemudian dia berkata:
” Dalam masyarakat modern, anak mudanya tidak menghormati orang tua”.
Dia menyeruput kopi panasnya, dan sekali-sekali menggigit donutnya dan menelan dengan perlahan-lahan, seolah-olah menikmati donut yang sepertinya sudah lama diinginkannya. "Jangan menjadi tua disini Bung, kalau bisa menghabisi hari tua lebih baik dikampung” katanya dengan suara agak keras.
Rupanya dia khawatir apa yang akan terjadi dengannya dikemudian hari. Mengingat diapun sudah berumur, dan dengan keterangannya itu saya sekarang tahu persis bahwa si Bapak ini hidup sendirian. Kesepian itu rupanya karena kehangatan kepada orang lain sudah lama dikubur dalam-dalam dihatinya, mungkin pernah mengalami kekecewaan. Patah hati atau ditinggal mati kawan karibnya.
Saya hanya menjawab singkat :
” Oh begitu Pak, karena apa Pak ?” saya bertanya kembali.
Sengaja saya menjawab dengan singkat agar banyak waktu untuk dia berbicara dan mengeluarkan isi hatinya.
“Mau donut lagi Bung, atau mau saya pesankan sandwich atau croissant” tanyanya padaku.
“ Oh tak usah Pak ini sudah cukup banyak,” jawabku.
“Tapi kalau Bapak mau pesan kopi lagi silahkan, saya masih banyak waktu, belum mau pulang” kataku memberikan kesempatan bagi dia untuk lebih lama duduk dikedai Donut ini.
Dia berdiri dan memesan kopi lagi dan kembali duduk ditempat semula. Setelah dia mengocok-ngocok kopinya dengan Sweet and Low pengganti gula. Disitu saya tahu bahwa si Bapak ini setidak-tidaknya mempunyai penyakit gula. Juga rupanya dengan memesan kopi lagi, dia sudah merasa tidak kaku lagi untuk meneruskan percakapannya dengan saya.
Tawaranku untuk membeli kopi lagi diterimanya bahwa saya ingin mendengarkan ceriteranya lebih lanjut.
“Lebih baik kalau sudah tua pulang kampung” katanya singkat.
“ Disini kalau sudah tua dianggap tak berarti, oleh masyarakat. Seperti si kakek tadi, tiada ada orang yang perduli” dia berhenti berbicara dan mengambil nafas panjang..
” Juga bagi anak cucu merupakan beban saja. Kadang-kadang dibuangnya di Nursing Home jauh disana diFlorida" ujarnya pula dengan rasa cemas, sepertinya akan terjadi dengan dia.
“Hidup sebagai “veggie” hanya menunggu waktu”, keluhnya sambil memilih donut yang mana yang akan dia makan.
Tersisa yang glazed dan yang old fashion dimeja.
“Tapi anehnya, kalau waktunya hampir datang, buru-buru diselamatkan, masuk Hospital di Emergency” ucapnya dengan penuh keseriusan.
Aku tidak berbicara mengiyakan, hanya aku tatap mukanya menunggu apa yang akan diucapkan selanjutnya.
“Segala peralatan yang mutakhir dipakai untuk menyelamatkannya agar kembali bernafas. Setelah bernafas dikembalikan ke kamarnya, disuruh bernafas pakai mesin.” ujarnya lagi.
Dia menghela nafas dalam-dalam, seolah-olah dia membayangkan keadaan seperti itu akan terjadi dengan dirinya.
“ Orang sudah sakitan, napas seninkemis, umurpun sudah sembilan puluhan masih juga diselamatkan. Barangkali kalau sudah mati, tidak dapat menagih ongkos tinggal kepada keluarganya atau kepemerintah.” katanya dengan nada sinis.
Dia berbicara dengan semangat, seperti sungai yang dibendung kemudian bendungannya pecah, air mengalir dengan derasnya.
Kami berhenti berbicara, saya memikirkan kata-katanya itu memang ada benarnya juga.
Si Bapak rupanya merasa kaget berbicara dengan leluasa dengan saya, padahal kami baru berkenalan kurang dari setengah jam. Buru-buru dia menghabiskan donut yang ditangannya dan disusul dengan meminum kopi.
Rupanya dia baru sadar bahwa dia berbicara dengan orang lain yang dia tak kenal sama sekali. Juga aku baru sadar nampaknya dia agak gugup, untuk membuat suasana lebih akrab lagi, saya memulai percakapan dengan bertanya:
“Kapan Bapak akan pulang ke tanah air ,Pak. Ada rencana untuk pulang” tanyaku lagi.
“ Oh iya, begitu mendapat social security umur 65 akan saya pulang ke kampung. Dan uangnya akan saya ambil diKedutaan Amerika di Jakarta” sahutnya.
“Saya akan bayar orang untuk mengurus saya siang malam. Saya kira saya sanggup membayar beberapa orang “ sahutnya dengan serius sekali.
“Biarlah menjadi orang asing dikampung sendiri, dari pada menjadi orang asing dinegara asing”katanya.
Kemudian dia membersihkan meja dari sisa-sisa donut yang terhampar dimeja, dia berdiri menuju ke tong sampah untuk membuang coffee cup dan kertas napkin. Dia kembali duduk ditempat semula.
” Kita ini sudah mempunyai peradaban ribuan tahun sebelum orang-orang ini tahu beradab. Lihatlah, Candi Borobudur, Candi Prambanan itu suatu bukti. Tapi karena lupa akan kebudayaan sendiri dan mencontoh peradaban Barat yang mementingkan uang saja, begitulah, tidak disini tidak ditanah air, dikota-kota besar dimanapun sama saja.” katanya dengan suara seakan-akan memberi nasihat sebagai seorang Bapak kepada anaknya.
“ Saya akan pulang jauh digunung, jauh dari keramaian kota” katanya dengan nada datar.
“ Wah sudah malam Pak, saya permisi mau pulang. Besok harus bekerja pagi-pagi.” ujarku memotong pembicaraannya.
Kami bersalaman berpisah, dia mencatat nama , alamat dan nomor tilponku. Juga aku mendapatkan keterangan yang sama. Suatu waktu akan aku hubungi lagi untuk minum kopi dan jajan kueh-kueh.
Akan aku ajak ke Kam Lun, disana banyak pilihan kueh-kuehnya.Dalam perjalanan pulang kerumah, aku berpikir rupanya dalam hidup mengembara ini suatu waktu akan teringat akan kampung sendiri. Mungkin kata “tanah tumpah darah” mempunyai arti yang kuat didalam hati dan benak seseorang. Apalagi kta sebaga seorang timur, kata orang tua dulu-dulu, dimana jabang bayi dikubur kesitu tempat kita berpulang.
Teringat kata-kata Bapak itu, hidup sebagai “veggie”, sendirian, tak ada sanak saudara, membuat bulu diseluruh badan berdiri.


*****oOo*****

Friday, September 02, 2005

Bermimpi

Wah enak sekali yah menjadi koran, dipagi hari yang pertama kali dipegang, sambil minum kopi dipegangi terus “ kata seorang istri pada dirinya sendiri, melihat suaminya asyik membaca koran pagi.
“Enak apa, Anda tidak mengetahui apa yang mereka lakukan terhadapku sebelum sampai dimeja makan ini “ keluh si Koran.
“Berminggu-minggu aku ditumpuk-tumpuk digudang yang gelap dipelabuhan. Sebelumnya berminggu-minggu didalam palkah kapal barang saling tindih bertindih” kata si Koran melanjutkan.

Eemh, serious sekali wajah suamiku memandang koran didepannya. Diselangi dengan senyum simpul ” kata si istri sambil menarik nafas dalam-dalam.
“ Nah, dengar baik-baik, dari gudang aku diseretnya keatas truck, lantas dibelitnya aku dengan rantai. Lihatlah sampai berbekas, terpaksa lembaran pertama menjadi sampah karena tak pantas untuk menjadi halaman koran, walaupun untuk halaman advertensi 'help wanted' sekalipun” kata si Koran dengan geramnya.
“ Tidakkah Nyonya tahu bahwa aku dikulitinya helai per helai kemudian diperasnya melalui mesin penggiling. Disitu seluruh badanku dicoreti dengan tinta hitam, ada kalanya dengan tinta merah atau biru.” kata si Koran dengan nada tegang.
“Itu belum selesai, dipotong-potongnya aku menjadi halaman-halaman. Lantas disusunnya satu persatu, bagian per bagian.” keluh si Koran dengan nada jengkel.

Aduh, dia membolik balik halamannyapun dengan rasa penuh kasih sayang” kata sang istri bangga.
“ Sudah tentu seharusnya begitu. Aku memang berhak untuk mendapat perlakuan seperti itu. Bagaimana tidak, setelah disusun-susun, aku diikat dengan tali, keras sekali. Bagian yang paling luar malah robek, pastilah akan duduk dirak di Newstand sampai yang terkahir, sebelum dibeli orang. Ada kalanya tak sampai diatas meja makan, sebahagian sudah masuk di tong sampah. Padahal koran hari ini, baru dicetak tadi malam. Sore hari sudah menjadi sampah. Jadi wajarlah kalau yang beruntung sampai dimeja makan mendapat pelayanan yang sedikit istimewa.” komentar si Koran tak habis-habisnya.
“ Masih juga merasa iri hati dengan aku diperlakukan begini istimewanya ?” tanya si Koran.
“ Coba pikirkan, waktuku hanya paling lama satu hari disenangi orang, dipegang, dielus-elus setiap lebar halamanku, setelah itu menjadi sampah” kata si Koran melanjutkan keluh kesahnya.
“ Agak beruntung kalau aku dinegara ketiga, masih ada harga diriku. Paling tidak laku dijual kiloan oleh Nyonya rumah. Kalau jatuh dipasar masih diperlakukan istimewa sebagai pembungkus apa yang dijualnya. Lebih-lebih kalau aku jatuh ditangan orang miskin pencari puntung rokok. Aku mendapat perlakuan lebih istimewa lagi, aku dipajangnya diseluruh dinding gubuknya. Setiap dia pulang, diejanya kalimat kalimat “Head Lines”ku, aku sungguh merasa bersyukur dapat menjadi guru simiskin yang baru melek huruf” ujarnya dengan rasa bangga.

Oh, sudah selesai rupanya suamiku membaca korannya. Sekarang dengan rapihnya dilipat-lpat seperti semula. Sungguh kelihatan dia itu penuh dengan kasih sayang “ kata si Istri kesenangan.
“ Tunggu dulu Nyonya, aku belum selesai dengan ceriteraku. Masih ingin mengetahui apa nasibku setelah menjadi barang loakan ?” tanya si Koran.
Tanpa mendapat jawaban si Koran terus berrkata lagi:” Apa sudah merasakan kalau aku dijual oleh tukang loak dan dibeli oleh penjual ikan ?” kata si Koran.
“Aku dibuatnya untuk membungkus ikan-ikan yang anyir itu. Itu belum seberapa, kalau jatuh dirumah miskin dinegara yang ada empat musim lebih sengasara lagi, aku digunting- guntingnya menjadi empat persegi sebesar telapak tangan dan disimpannya dikamar mandi dekat tempat buang air besar, dekat WC!!. Nyonyah tahu apa terjadi dengan guntingan-guntingan kertas koran itu ?” teriak si Koran dengan geramnya.
“Yang lebih parah lagi, di Cina Selatan atau di Vietnam, setelah digunting-gunting aku dibawanya jalan-jalan kekebon, setelah selesai dipakainya, aku dikuburnya didalam tanah dengan apa yang dibuangnya. Bayangkan dikubur bersama dengan segala apa isi perutnya! Masih juga Nyonyah merasa ingin menjadi koran seperti aku ???” ucapnya pula.

Seperti tersentak dari lamunannya, si istri sambil melirik kepada suaminya berkata dalam hatinya :” Aku merasa beruntung menjadi istrinya, koran hanya dipegangnya sekali sehari, tapi aku tahu bahwa aku ada dihatinya selamanya
Dengan suara halus si istri berkata: “ Mas, kopinya sudah habis, apa mau diisi lagi ?”
Ah sudah cukup untuk pagi ini Jeng. Kopi merk apa yah, kho kopinya enak sekali hari ini. Atau, tadi waktu membikinnya penuh dengan Tender Loving Care barangkali yah.” sahut suaminya sambil bersenyum manis, menggoda.
Oh, Si Mas ..bisa aja …ah” sambut si istri dengan riangnya dan terlihat pipinya agak kemerah-merahan. Dengan cepat diambil .cangkir kopi dan dibawanya ke dapur.
Didapur, tak sadar si istri menyanyikan nyanyian si Louis Amstrong……What a Wonderful World…….
Si Koran berkata perlahan-perlahan:” Dasar manusia, yang dilihat dan diingini hanya yang enak-enaknya saja . Mau senang tak mau susah, mau gembira tak mau sedih, sudah dilebihkan_NYA masih juga tidak puas. Memang manusia itu tak tahu diuntung”


=====+++=====

Thursday, August 25, 2005

Masuk akalkah ?

Warning.


Kata “warning” ini selalu menempel diingatan saya. Sewaktu remaja saya sering disuruh oleh Ayah saya untuk membeli tembakau. Beliau suka merokok tembakau yang digulung sendiri. Dan salah satu kesukaannya ialah tembakau yang dibungkus dalam pembungkus warna biru. Ada tulisan diluar bungkusanya dalam warna hitam Bayangkan huruf hitam dicetak dalam kertas warna biru, susah sekali untuk membacanya. Ditambah pula dengan hurufnya yang kecil-kecil. Satu-satunya yang dicetak dengan huruf besar-besar ialah kata “warning” itu. Sehingga tembakau yang bungkusnya warna biru itu terkenal namanya tembakau warning.

Merk sebenarnya dari tembakau itu saya kurang tahu dengan pasti. Kalau tidak salah disebutnya tembakau shag atau tembakau shack, apakah buatan Belanda atau Inggris kurang tahu betul. Dibawah kata warning dengan huruf besar itu ada kata-kata lainnya. Kalau tidak salah kata-kata yang menyatakan “ Barang siapa yang meniru atau memakai kata anu dan memalsukannya akan dituntut dimuka hakim” kira-kira begitulah isi dari kalimat-kalimatnya. Baru setelah dewasa mengerti bahwa kata “warning” itu kata peringatan bukannya nama merk tembakau itu. Namun sudah terlanjur menjadi nama merk, terutama dikalangan pemakainya maupun penjualnya seperti penjual rokok di kaki lima.


Arti kata “warning” ini tentunya semua maklum apa maksudnya. Namun kita sebagai manusia sering sekali melupakan atau menyesepelekan dalam mengartikan kata “warning” ini. Tidak disadari bahwa “warning” yang datang dalam segala bentuk dan jalannya sampai kepada kita itu sebetulnya adalah demi untuk kebaikan diri kita sendiri.

Contohnya yang paling gampang dan sering kita jumpai. Kalau celana sudah kekecilan pinggangnya, “ warning” ini kita artikan bahwa sudah waktunya untuk membeli celana baru yang lebih besar ukurannya. Kita beli celana baru, selesai perkaranya. Tetapi pernahkan kita mengartikan “warning” itu adalah bahwa celana kekecilan pinggangnya itu menandakan sudah waktunya kita untuk “slow down” apa-apa yang kita makan. Atau mulai mencari tahu kira-kiranya makanan apa yang harus dikurangi.
Dan juga “warning” bisa diartikan bahwa badan kita berteriak bahwa “kamu terlalu banyak makan makanan yang mengandung lemak” atau “ kurangi makanan yang banyak gulanya “ atau “ coba diperbanyak makan sayuran segar !!” Apakah kita pernah berpikir begitu ??

Contoh lainnya.
Kalau kita membaca dan mata mulai mengeluarkan air mata. Dengan segera kita berpikir “ah ini kurang terang” Kita ganti lampu dari 75 watts menjadi 100 watts upamanya. Dan kita kembali membaca. Mungkin “warning” ini sebetulnya memberi peringatan kepada kita bahwa sudah waktunya untuk datang berkunjung ke dokter mata. Mungkin sudah waktunya mengganti lens kaca mata kita. Atau ada tanda-tanda bahwa tekanan pada bola mata menjadi naik, sehingga keluar air mata.. Hanya seseorang yang mempunyai proffesi dibidang itu yang dapat memberikan saran yang benar.

Contoh lain.
Setiap gajihan, setelah membayar semua tagihan kok tidak ada sisa uang untuk ditabung. Pikiran kita dengan segera mengambil kesimpulan bahwa perlu mencari pekerjaan lain dengan bayaran yang lebih tinggi. Atau mencoba meminta naik gajih. Pernahkah ada pikiran bahwa mungkin ini karena saya boros ?? Atau terlalu banyak pengeluaran yang seharusnya tidak perlu. Atau mungkin harus mulai mencari jalan untuk menurunkan pengeluaran ?? Apa betul-betul diperlukan mempunyai SUV 8 Cylinders yang membakar 1 gallon bensin untuk 14 miles ?? Padahal yang mengendarai hanya Anda dan istri saja ?? Kalau kendaraan Anda itu dipakai untuk ketempat pekerjaan, apakah lebih ekonomis memakai kendaraan yang 4 cylinders yang membakar 1 gallon untuk 30 miles ? Mengingat harga bensin dewasa ini, dan kemungkinannya akan naik kalau ada perang ? Mungkin dengan mengganti dari mobil lux ke mobil ekonomis dapat menghemat ongkos asuransi ?? Apakah “life styles” sekarang ini lebih penting daripada menabung untuk keperluan dihari tua ???
.
Dan banyak lagi “warning” lainnya yang kita salah mengartikannya. Apakah pernah terpikirkan adanya pepatah “Bersedia payung sebelum hujan “ kaitannya dengan kehidupan sehari-hari ??

Kalau kita minum air es atau air dingin, begitu air masuk dimulut terasa nyeri disalah satu gigi. Apa yang kita perbuat? Stop minum air es ganti dengan air teh panas atau air teh hangat. Memang tidak terasa sakit lagi. Kita sepelekan “warning” itu. Beberapa bulan kemudian lubang digigi membesar masuk makanan kena infeksi. Perlu dicabut, terpaksa berkunjungke Dokter gigi. Kalau semua dalam keadaan baik dan gigi hanya perlu dicabut, sukurlah. Bagaimana kalau lebih parah lagi, perlu dioperasi root canal umpamanya ? Selain sakitnya luar biasa, ongkosnyapun melambung pula. Karena apa karena salah mengartikan dari “warning” itu.

Kepala terasa sakit kemudian pundakpun terasa tegang. Ambil jalan gampang, minum Advil atau Anacin. Mungkinkah “warning” itu menandakan bahwa Anda stress dipekerjaan atau keadaan dirumah yang menjadi sebabnya ? Apakah lebih baik dalam jangka panjang untuk menyelesaikan persoalan itu, sebaik-baiknya dicarikan jalan keluar daripada menelan Anacin atau Advil ?? Tentunya kalau Anda mengartikan yang sebetulnya “warning” yang diterima itu.

Apa pernah pula terpikirkan bahwa sekolah tinggi-tinggi, dan belajar menyelami Agama sedalam-dalamnya itu, adalah dalam rangka untuk mempersiapkan diri dalam mengartikan arti yang sebenarnya dari “warning” yang kita terima selama hidup ini?
Serta mengerti dengan pasti dari mana datangnya “ warning” ini ? Juga agar kita dapat mengerti apakah ini betul-betul “warning” yang sebenarnya atau yang palsu ?“
Atau dengan kata lain, berusaha lebih dalam mengasah kepekaan akan tanda “warning” ini yang diterima oleh badan maupun pancaindera kita.
Coba pikirkan dalam-dalam.

Monday, August 08, 2005

Waktu itu adalah uang.



Begitulah peribahasa disini. Waktu itu adalah uang. Memang peribahasa ini betul-betul merupakan sebahagian dari kehidupan penduduk kota Metropolitan NYC ini.
Coba Anda perhatikan kalau Anda berjalan-jalan di Midtown Manhattan atau di Wall Street Area di Downtown. Manusia yang berjalan bergegas-gegas, wanita dan priya tidak ada perbedaannya. Hampir semua yang berjalan kaki, apakah yang berjalan menenteng briefcase atau shopping bags, mereka berjalan-jalan seperti serdadu. Apa berjalan bergegas ini karena kebelet kencing karena udara dingin, atau merasa kedinginan barangkali.

Tapi dimusim panas pun mereka itu tetap berjalan bergegas-gegas. Tentunya lain halnya dengan turis-turis. Anda dapat menebaknya dengan segera mana yang turis mana yang bukan. Turis-turis kalau berjalannya menadahkan mukanya keatas, terpesona dengan gedung-gedung yang tinggi. Kecuali turis asal Jawa, terutama yang dari Solo. Dapat segera terlihat bahwa mereka itu turis Indonesia asal Solo. Tahunya, ….ialah dari cara mereka berjalan kaki itu, kelihatan mereka itu berjalanya dengan emat-ematan, menikmati apa yang sekelilingnya juga menikmati cara mereka berjalan.

Rupanya sebagai akibat dari peribahasa ini, yaitu serba bergegas, bermunculanlah segala macam Food Vendors dipinggir jalan di Manhattan, terutama di Midtown dan Downtown
Penjual hot dog, shishkebab (sate yang kerat dagingnya sebesar kepalan tangan bayi),
falalel (makanan TimTeng), Tacos (makanan Mexico) malah ada goreng ayam dengan nasi. Juga akhir-akhir ini banyak yang memasang tanda dengan tulisan “halal meat”. Dapat dimengerti karena sebahagaian besar penjaja makanan dipinggir jalan ini adalah asal dari Mesir. Ada penjaja hot dog di Canal Street dekat Chinatown asal dari tanah air, mungkin dia satu-satunya Food Vendors asal Melayu. Juga banyak langgananya adalah supir-supir taxi asal Bangladesh. Hanya food vendors yang berjualan kari kambing belum ada, tetapi mengingat jumlahnya para pendatang dari India, Pakistan dan Bangladesh, mungkin suatu hari akan menemukan yang berjualan kari kambing ini.

Nah arti dari time is money ini sering diartikan dan dipraktekan dengan sebenarnya, seperti contoh dibawah ini.
Suatu hari saya melihat Bung Bego masuk kedalam mobilnya yang diparkir dipinggir jalan. Setelah mobilnya distarter dan mesin sudah jalan, tetapi tidak bergerak dari tempatnya,. Lima menit sudah lewat, sepuluh menit sudah lewat masih juga tetap ditempat. Karena khawatir mungkin memerlukan bantuan, saya datang menghampiri dan bertanya , :”Mas, apa khabar Mas. Kok dari tadi tidak berangkat-berangkat, ada apa dengan mobilnya perlu bantuan ?”
Dia menjawab” Oh, tidak apa-apa dengan mobil saya. Saya tidak pergi dari sini karena mau menghabiskan waktu. Itu di meterannya masih ada 15 menit lagi !”
“Oh, begitu saya kira mobilnya mogok “ saya menyahutinya. Nah ini namanya betul-betul sudah Americanized, well tidak dapat disalahkan rupanya Bung Bego…likes to have his money worth !!

Kejadian lain, seperti biasanya didepan Supermarket itu ada mainan anak-anak , berupa mobil-mobilan atau Disney characters. Setelah anak didudukan didalamnya, kemudian memasukkan uang logam 25 sen dan mobil-mobilan atau yang berupa Disney characters bergoyang-goyang disertai dengan lagu anak-anak. Mungkin untuk 5 menit 7 menit lamanya. Pada suatu hari saya melihat didepan Supermarket itu, didalam mobil-mobilan duduk seorang Ibu.
Saya bertanya :” Lho, Bu kok sendirian mana anaknya ?” saya bertanya.
Dia menjawab:” Itu sama Bapaknya lagi dipangku, rupanya dia ketakutan waktu didudukan disini malah menangis kejer.”
Kemudian saya berkata:” Oh jadi Ibu menggantikan anaknya “
Dia menjawab:” Iya, habis masih banyak waktunya, sayang khan kalau tidak dimanfaatkan”

Suatu contoh lagi….I want my money worth !!!
Suatu contoh,…time is money…..semenit dua menit ada artinya..apalagi kalau seperempat jam !!
Jadi kalau Anda betul-betul…you want your money worth, coba naik Subway boleh seharian ke Brooklyn ke Bronx asal jangan keluar dari station seharian dapat menikmati seharga $ 2.00, harga dari karcisnya.. Di musim dingin tak akan kedinginan, semua gerbong ada alat pemanasnya. Demikian juga di musim panas, semua gerbong ada A/C-nya.
Ini hanya dapat terjadi di NYC, apalagi yang menceriterakannya MangSi..he…he…he.!


MangSi


Thursday, August 04, 2005

Hadiah istimewa ulang tahunku



“ Ayah, hadiah apa yang Ayah inginkan dihari Ulang Tahun yang akan datang ini?” tanya anak perempuanku yang paling kecil.
“ Nanti dulu, sayang, itu adalah kalimat yang selalu datang dari Ayah selama bertahun-tahun ini kepadamu” sahutku berkelakar.
“Ya, saya tahu, tetapi mulai tahun ini, saya yang akan mengucapkannya setiap akhir bulan Maret kepada Ayah” ucapnya dengan tegas dan penuh kepercayaan.
Nampak sinar matanya cemerlang tanda suka hati, juga tanda bahwa kata-kata itu datang dari lubuk hatinya yang masih bersih itu. Kukerlingkan mataku kemuka Ibunya yang duduk disebelahku.Terlihat matanya mulai berkaca-kaca. Yang tak lama kemudian kulihat dia meneteskan sebutir air mata, membasahi pipinya yang kuning langsat.
Aku lanjutkan percakapanku dengan anakku:” Dengan alasan apa bahwa Ayah tidak dapat lagi mengucapkan kalimat itu” tanyaku padanya..
Dengan sekuat tenaga aku perlihatkan muka seolah-olah seperti tidak mengerti. Padahal, air mataku sudah sampai dipinggiran bola mataku.
“ Well, saya sudah mendapat penghasilan dari pekerjaan sambilan untuk biayaku sehari-hari.”, ujarnya polos.
Sambil memainkan rambut diujung kepangnya, dia lanjutkan dengan tersendat-sendat. “Saya sudah mendapat scholarship dari sekolah. Untuk tahun-tahun yang akan datang” ujarnya. Kemudian dia menghela nafas dan melanjutkan percakapan kami itu. Istriku yang duduk disampingku kelihatannya seperti cacing kepanasan, duduk dengan seba salah.
“ Ayah dan Ibu tak usah khawatir mencari uang untuk membayar uang kuliahku” ujarnya dengan penuh kebanggaan akan dirinya. Istriku membalikkan badannya, mengulurkan tangan mencari kotak Kleenex,mencabutnya beberapa helai dan dipakainya utuk membersihkan hidungnya.
“ Saya pikir sudah waktunya Ayah dan Ibu untuk bersenang-senang., jalan-jalan ke Disney World” ujarnya sambil tersenyum.. Percakapan kami terhenti sebentar, menunggu truk PemadamKebakaran lewat dengan suara sirine yang memekakkan telinga. Kemudian dia melanjutkan nya dengan suara terdengar agak perlahan.
“Satu hal lagi, bukankah sudah waktunya untuk Ayah berhenti bekerja untuk pensiun” ucapnya dengan nada serius.
Dia terhenti sebentar, rupanya sedang mencari kata-kata yang pantas. Seolah-olah takut kata-katanya akan menyinggung hatiku, dengan suara halus dia meneruskan percakapannya.
“ Bekerja 12 jam lebih sehari, 6 hari seminggu. Apakah Ayah tidak merasa bosan dan kesal seharian menjadi bagian dari lalu lintas kota NYC yang terkenal paling parah sedunia ?” ucapnya pula.


Terlihat raut mukanya agak cemas, karena sekarang dia mulai menyinggung pekerjaanku, yang dia tahu betul bahwa aku senang akan pekerjaanku ini
Aku melirik kesebelahku dimana istrku duduk mendengarkan percakapan kami berdua.. Kulihat mata istriku mulai basah,dan mulutnya mulai komat-kamit tak bersuara menahan untuk tidak menangis. Dengan cepat istriku berdiri dan berkata :” Aduh, mau kekamar mandi dulu, sudah tidak tahan lagi menahan dari tadi”
Aku sudah menduga terlebih dahulu, dia sudah tidak kuat menahan air matanya. Sebetulnya demikian juga dengan aku, namun rasa ingin tahu apa yang anakku akan katakan selanjutnya membuatku tetap duduk dan menghadapinya. Aku berusaha keras dengan memusatkan pikiranku akan jalannya percakapan ini.
” Dengan keadaan Ayah seperti sekarang ini, sebagai akibat dari tabrakan itu, bukankah itu sudah menunjukkan waktunya untuk pensiun?” tanyanya betul-betul polos.
“ Iya, memang sudah ada dalam pikiranku untuk berhenti bekerja dan pensiun. Tetapi bukannya sekarang, rencananya 2 tahun lagi menunggu cukup umur untuk mendapatkan Social Security Benefit” jawabku.
Biasanya berbicara seperti ini bukan dengan anakku, biasanya dengan istriku atau teman-temanku. Dan sekarang, dia menjadi kawan pembicaraan memperbincangkan soal pensiun pula ?? Tersentak aku, anakku ini sudah bukan “daddy’s little girl” lagi, sekarang sudah menjadi full grown woman. Dan dalam umur yang masih muda begini sudah mempunyai pemikiran yang panjang serta turut memikirkan kesejahteraan orang lain. Hilanglah rasa sedih, air mata yang membendung menekan bola mata mengering dengan sekejap. Rasa sedih berganti dengan rasa malu, seumur dia begitu aku masih senang bermain-main. Naik motor keliling kota, patroli mencari rumah yang ada penghuninya nona manis. Begitu melihat ada noninya, segera motor kumatikan dan bertanya menanyakan rumah Bapak Anu, dsb dsbnya. Kedua kali datang dirumahya kami pergi berkencan. Malu hati !
“ Jadi Ayah mau apa sebagai hadiah ulang tahunnya?” tanyanya lagi. Membuat aku tersentak dari lamunanku.
“ Ayah akan pikir-pikir dahulu beberapa hari ini, bolehkah sayang ?” jawabku.
“ Begini saja Ayah, karena sekarang Ayah tidak dapat keluar rumah dan lebih sering duduk didepan computer, bagaimana sebagai hadiah tahun ini saya upgrade hard disk-nya dan RAM, supaya computernya jalan lebih cepat lagi” ujarnya dengan nada tegas, seolah-olah dia telah menerka dengan jitu apa yang ada dalam pikiran ku.
“ Iyalah, kalau itu Ayah terima hadiahnya dengan gembira. Dan terima kasih atas hadiahmu itu “ ujarku dengan rasa malu-malu kucing.
Walaupun anakku ini sudah boleh dikatakan full grown woman, tetapi dimataku masih juga terlihat sebagai anak kecil. Tidak habis pikir karenanya, bagaimana dia dapat menerka yang ada dalam benakku selama berminggu –minggu terakhir ini.??

Rupanya tidak sia-sia aku mendidiknya selama duapuluh tahun. Ternyata sekarang telah menjadi seorang wanita yang betul-betul menaruh rasa kepedulian terhadap kesejahteraan seseorang selain dirinya sendiri. Aku mengucapkan syukur keHadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa saya telah diberi bimbingan dalam mendidik anak ini. Seperti didalam hadis Nabi SAW, hanya doa anak yang saleh yang akan sampai kelak bila aku sudah tiada. Dua yang lainnya, Ilmu bagi kesejahteraan manusia dan Amal Ibadah , dalam dua hal ini aku tak dapat mengandalkannya. Mengingat pendidikanku, apa yang diharap dari yang “drop out”. Amal Ibadah, kelakuan istilah jaman doeloe “cross boy”, apa pula yang diharapkan. Well, one out of three, is not bad. Not bad at all. Malah saya bersyukur kehadirat Allah SWT karenanya, banyak orang yang satu inipun tidak dipunyai.nya.
Betul juga orang sini bilang……”God works mysteriously”……..

Mangsi

Mangsi mendongeng.

Mendongeng hal-hal kejadian sehari-hari dipengembaraan di negara Paman Sam

Monday, August 01, 2005

Hujan Salju

Weather forecast, hujan salju diperkirakan akan turun salju di daerah Metripolitan Area sampai ketinggian 20 inci. Begitu menurut siaran TV sebelum masuk tempat tidur semalam. Esok harinya, mulai subuh salju turun tak henti-hentinya. Jalanan penuh dengan tumpukan salju. Demikian juga halaman rumah. Mobil-mobil yang diparkir dijalanan maupun didepan halaman rumah tertutup salju. Terutama yang diparkir dipinggir jalana, selain tertutup oleh salju yang turun juga dibahagian pinggirnya tertumpuk onggokan salju yang terdorong “wuluku” yang dipasang didepan truck pembersih jalanan. Mencoba untuk mengeluarkan mobil dari onggokan salju akan memerlukan waktu yang cukup lama. Disamping memerlukan sekop juga pinggang atau bebokong harus cukup kuat ditambah pakaian yang tebal dan sarung tangan yang kadang-kadang bukannya membantu malah menghalangi ruang gerak. Kalau untuk kita-kita yang sudah berumur ini menyengkup salju begini betul-betul secara arti yang sebenarnya harus “pasrah bongkokan”.
Salju tersengkup bersih, pinggang betul-betul “pasrah ” sama Ben Gay, Sloan atau Salon Pas atas kemujarabannya menolong meringankan rasa pegel-pegel atau rasa sakit.

Pada waktu pertama kali pindah kedaerah ini, saya kira bahwa daerah ini tempat tinggal orang yang banyak duitnya. Saya mendapat kesimpulan itu melihat bahwa hampir setiap rumah, halaman depan rumahnya diparkir satu mobil. Padahal semua rumah-rumah ini dibangun lengkap dengan garasi. Pasti orang-orang disini mempunyai 2 mobil, satu diparkir didalam garasi dan yang satu lagi diparkir dihalaman depan.. Ternyata tidak betul, ruangan garasi itu disulap menjadi ruangan rekreasi atau dipakai sebagai gudang. Malah ada yang ditambahkan mini kitchenette dan kamar mandi, kemudian disewakan, Lumayan sebagai tambahan untuk membayar listrik dan air. Tetapi kalau dilihat dari luar, seolah-olah garasi, Karena pintu garasinya tidak dirobah. Katanya menyewakan garasi sebagai tempat tinggal adalah melanggar peraturan. Jadi tidak digantinya pintu garasi merupakan siasat untuk mengelabui bahwa tidak ada kamar dibelakang pintu garasi itu.

Kebanyakkannya penduduk dimana saya tinggal ini adalah imigran yang datang dari Carribean, terutama dari Pulau-pulau jajahan Inggris dan Guyana. Boleh dikatakan 95% berasal dari India pada waktu dijajah Inggris. Jadi sebelum dipisahkan antara India dan Pakistan. Karena bahasa utama mereka itu bahasa Inggris, cepat sekali mereka membaur dengan penduduk yang sudah menjadi warganegara AS. Terutama penduduk orang hitam. Memang kalau dilihat sekali pandang, tidak ada perbedaan yang menyolok dilihat dari warna kulit, bahasa Inggrisnya yang beraksen dan cara mereka berpakaian. Juga dalam segi kepemilikan mobil, mobil tahun terakhir dan dari merk-merk yang terkenal lux-nya, penuh dengan chrome dan berbagai macam gantungan yang berwarna-warni menggantung dibawah kaca spionnya. Tidak lupa pula klaksonnya yang nyaring dan berlagu-lagu.

Satu hal lagi keistimewaannya daerah dimana saya tinggal sekarang ini ialah bila musim panas tiba. Dari jam 6 sore, setelah mereka pulang dari pekerjaannya, musik semacam dangdut dengan penyanyi wanita bersuara meleking nada tinggi tak ada habis-habisnya sampai jauh malam. Rupanya merupakan suatu kebiasaan dinegara asalnya, berdendang mendengarkan musik, menari dan minum-minum bir atau rum, diluar rumah. Anehnya, kata-kata dalam nyanyian itu dipakai bahasa Urdu atau Hindi dan mereka fasih menirukan kata-katanya, Tetapi kalau ditanyakan apa artinya mereka tidak tahu. Karena bahasa sehari-hari yang dipakai adalah bahasa Inggris. Ini hanya menunjukkan bahwa mereka sewaktu pindah dari India ke Carribean dan Guyana, tak lupa pula dibawa ‘kebudayaanya” juga. Dan mereka pelihara turun temurun, bukan saja diantara orang-orang yang sudah berumur malah anak-anak mudanyapun masih mendengarkan dan mengikuti nyanyian-nyanyian warisan nenek moyangnya.

Dalam hal ini, kita sebagai orang Indonesia jauh ketinggalan dalam hal memelihara kebudayaan sendiri diperantauan ini. Kebanyakan dari kita sudah melupakannya disebabkan karena tidak ada jalan yang diciptakan oleh kita-kita para sesepuh dalam memupuk keinginan untuk mengenal budaya sendiri. Saya melihat di Astoria , Queens. Para imigran dari Bangladesh boleh dikatakan merupakan pendatang baru. Mereka berusaha agar “ciri-ciri” ke-Bangladesh-annya menonjol. Semua grocery stores yang dimiliki orang-orang dari Bangladesh menyediakan “halal meat” dan lagu-lagu serta majalah dan surat kabar dalam bahasa mereka. Malah saya melihat sebuah warung dirobah menjadi suatu tempat mengajar tari-tarian asal Bangladesh.. Jauh halnya dari Lincoln Center atau Carnegie Hall, tetapi nama papan “Bangladesh Performing Arts Center” didepan bekas toko grocery stores cukup mengesankan. Bukannya gedung yang megah tetapi keberadaanya diantara bangsanya sendiri di perantauan yang serba asing ini, membuat suatu kesan yang sungguh-sungguh berarti dan patut dipuji.



MangSi

Saturday, July 30, 2005

Lho lyrics-nya kok lain ?

Sebuah prosa diilhami oleh tulisan Ibunya Irfan.

Lho lyrics-nya kok lain??


Hari itu, Ibu Guru mengajak kelas untuk berusaha menggali kembali kebudayaan sendiri.
Dia mulai berceritera mengenai Gending, kemudian lagu-lagunya, mulai dari Maskumambang sampai Wirangrong. Ibu Guru menjelaskan maksud-maksud dari setiap lagu-lagu itu. Kemudian Ibu Guru memberi contoh dengan lyrics, serta menyanyikan lagu Mijil.
Sepulang dari sekolah, aku langsung menemui Ibuku yang sedang duduk diberanda belakang.
“ Ibuuu “ kataku setengah berteriak.
“Ada apa nak ?” Ibuku menjawab dengan suara lembah lembut.
“Aku protes, Bu “ sahutku.
“ Protes apa , nak “ beliau menjawab keheran-heranan.
“ Tadi dikelas, saya mendapat pelajaran menyanyi lagu Mijil” kataku.
Kemudian aku mendekat ketempat Ibuku duduk. Aku taruh tas sekolahku dilantai.
“Namun lyrics-nya tidak sama seperti yang Ibu jelaskan “ ujarku lagi.
Ibu tersenyum, kemudian Ibuku berdiri dari tempat duduknya. Membungkuk mengambil tas sekolahku. Kemudian berjalan menghampiriku dan menyerahkan tas sekolahku ditanganku.
“Oooh itu” kata beliau
“Nantilah Ibu terangkan, sekarang ganti pakain dahulu sudah itu makan” Ibuku melajutkan pembicaraanya.
“Tidak Ibu, saya tidak akan makan dahulu sebelum Ibu menjelaskannya” sahutku.
“Baiklah kalau begitu” beliau menjawab.
Ibuku kembali menuju ketempat duduknya, kemudian dia mengangkat kedua tangannya menyuruh aku datang kepadanya.
“ Baiklah, nak. duduklah dekat ku “ ujarnya pula.
Kemudian beliau melanjutkannya:” Kalau tidak salah ingat, Ibu pernah berbicara bahwa semua karya pujangga itu penuh dengan filsafah kehidupan sehari-hari.”
Beliau berhenti sebentar, kemudian menarik nafas. Rupanya sedang mengingat-ingat apa yang pernah beliau katakan kepadaku.
“ Mulai dari dalam kandungan Ibu sampai dengan liang kubur. “ beliau melajutkannya. Kemudian dia menatap wajahku, dan membetulkan rambutku yang mengurai kemuka.
“ Namun demikian, Nak, kehidupan itu bukan hanya prosesnya, tapi juga masalah kehidupan itu sendiri.”
Beliau kembali berhenti berbicara, kemudian merubah duduknya menghadap kepadaku dan menatap wajahku lagi.
“ Kehidupan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Setiap insan mempunyai masalah yang berbeda” ucapnya.
“Nah setiap tahap itu, para pujangga tidak tertinggalkan dalam karyanya, maka lahirlah gending-gending itu “ ucapan Ibuku dengan nada yang sabar.
Kemudian beliau memindahkan tas sekolahku yang aku taruh diatas pangkuanku. Beliau mengasih aba-aba untuk lebih mendekat lagi kepadanya.
Kemudian beliau berkata:“ Dari gending-gending itu lahir lyrics seperti apa yang kamu katakan itu.”
Ibuku memberikan contoh-contoh seperti, lagu Pucung sebagai “tebakan”. Lagu Pucung yang lyrics-nya memberikan gambaran kehidupan. Seperti, Semar yang digambarkan sebagai Punakawan, tetapi nasehat-nasehatnya mengenai kehidupan itu tinggi dan dalam sekali.
Lagu Pucung sebagai nasehat atau pelajaran.
“ Dalam tahap-tahap itu,mengandung makna bahwa boleh memiliki ilmu setinggi mungkin.” Kata Ibuku. Beliau berhenti berbicara dan membereskan rambutnya yang terurai panjang.
“Namun harus mengamalkan ilmumu itu untuk kebahagiaan dirimu dan keluargamu” belaiu berkata dengan pandangan mata seolah-olah bertanya apa aku mengerti atau tidak akan penjelasan beliau itu.
“Dan ingatlah bahwa kita akan menghadap kapada-NYA dengan amalan kita masing-masing” ucap nya.
“ Nah itulah , nak, apa yang Ibumu masih ingat, bahwa para pujangga kita itu luhur-luhur.” Beliau berhenti sejenak dan kemudian melanjutkannya.
“Seperti pepatah, carilah ilmu walaupun ke negeri Cina. Tetapi sebenarnya disekeliling kita masih banyak ilmu yang terpendam, menunggu untuk digali “ selesai berkata begitu, Ibuku berdiri dari kursi dan memegang tanganku berjalan kedalam rumah. Aku masuk kekamarku untuk berganti pakaian. Ibuku langsung ke dapur menyediakan makanan. Dalam hatiku aku tetap bertanya, karena apa lyrics kok berbeda-beda, apa demikian juga dengan hidupku kelak akan berubah?
Dari dapur terdengar suara halus berirama, rupanya Ibuku menyanyikan apa yang diajarkan Nenekku kepadanya.

Lagu Maskumambang berkumandang
Dinyanyikan oleh dayang-dayang
Menghibur putri yang sedang mengandung
Agar jabang bayi lahir beruntung

Lagu Mijil dinyanyikan untuk sang Putri
Sewaktu melahirkan sang bayi
Sebagai hiburan mengalami nyeri
Yang diderita hanya oleh dirinya sendiri

Lagu Kinanti dilagukan karena cinta
Kepada bayi yang mulai mengenal dunia
Secara perlahan mengenali Ibu dan Bapa
Mengharap cinta kasih yang mesra dari berdua

Lagu Sinom dinyanyikan anak sudah muda belia
Membukakan mata akan kehidupan dunia yang nyata
Berkenalan dengan teman dan sanak saudara
Mempersiapkan diri mengarungi kehidupan didunia

Lagu Asmorandana dinaynyikan dikala anak menjadi dewasa
Memilih kawan hidup untuk selamanya
Didasarkan kasih sayang dan cinta mesra
Dalam menuju ke jenjang Rumah Tangga

Lagu Gambuh berkumandang diudara
Mengiringi keputusan untuk mempersunting sang dara
Dengan meminang pilihan hati dengan gembira
Sebagai pelambang kesucian hati dan rasa cinta

Lagu Durmo kembali dinyanyikan
Sewaktu kedua mempelai naik kepelaminan
Tanda akan syahnya suatu perkawinan
Saatnya keduanya menguatkan tali ikatan

Lagu Dandang Gulo adalah berikutnya
Cobaan dalam saling memberi jiwa raga
Memberi tanpa mengharap imbalannya
Sebagai bukti akan kuatnya dalam bercinta

Lagu Giriso menempati tempat istimewa
Kadang terasa risi dan cemas didalam dada
Apakah betul-betul anaku bahagia
Apakah terpenuhi kebutuhan hidupnya

Lagu Pangkur diciptakan untuk manusia
Yang telah mengalami hidup secukupnya didunia
Yang terbuka mata, hidup ini tidak mengumpulkan dunia saja
Suatu waktu akan meninggalkan dunia

Lagu Megatruh mengelu-elukan kedatangan Malaikat
Dimana saat jiwa akan diangkat
Dimana raga ditinggalkan untuk dirawat
Oleh sekalian keluarga dan kerabat

Lagu Pucung dinyanyikan sebagai tanda
Supaya jenazah dimandikan menurut Agama
Dibungkus kain kafan dari kaki ke ujung kepala
Tanda bahwa pulang itu tidak membawa apa-apa

Lagu Wirangrong adalah lagu penutup
Usailah masa hidup
Wirang artinya mengerti atau tahu cara hidup
Rong artinya lubang kubur dimana riwayat ditutup

MangSi

Percakapan di Subway

Percakapan di Subway.

Sewaktu pulang dari Manhattan ke rumah, kebetulan hari itu saya duduk digerbong paling belakang. Setelah melewati Queens Plaza Station ternyata kereta yang biasanya Express ini berjalan di rel local. Dengan sendirinya yang biasanya memakan waktu 20 menit waktu perjalanan sekarang menjadi 40 menit karenanya.

Di depan saya duduk seorang anak muda, beberapa kali dia menatap muka saya. Saya pura-pura tidak melihatnya. Di stasiun Steinway, dua sejoli yang duduk disebelah saya turun. Si anak muda kemudian pindah duduk disebelah saya dan berkata: “ Bapak dari Indonesia ya Pak ?”
Saya jawab kembali :” Betul, saya asal dari Bandung”
Dengan muka senang dia berkata :” Oh, saya pernah sekolah di Bandung setahun lamanya ”
“ Disekolah apa Bung…eeehh siapa nama Anda ?”
Dengan cepat dia menjawa:“ Oh maaf Pak, lupa saya mengenalkan diri “ dia kelihatan agak gugup mungkin karena malu atau takut dianggap anak tidak tahu aturan.
Kemudian dia melanjutkannya :” Saya, Saman asal dari Jakarta dari Pangkalan Jati “
Dia tidak menanyakan nama saya, mungkin dia mengharap saya mengenalkan diri.
Kemudian saya teruskan percakapan dengan berkata seolah-olah saya pernah tinggal di kampungnya: “ Oh dari Pangkalan Jati, masih banyak pohon-pohon buah-buahannya. Kalau tidak salah daerah itu penghasil buah-buah terutama papaya ”
Dengan nada kecewa dia menjawab:” Tidak begitu banyak pohon buah-buahan lagi Pak. Sekarang banyak sekali gedong-gedong mewah, pohon-pohonnya diganti dengan pohon hias.”
“ Wah, kalau menanam pohon hias apa yang bisa dimakan “ jawab saya agak berkelakar.
Diapun tersenyum :” Tapi pohon hiasnya dirumah orang-orang kaya, mereka rupanya lebih senang makan buah kaleng atau apple dari Australi, daripada hasil dari pohonnya sendiri”
Kemudian dia melanjutkan:” Tidak perlu susah-susah mengurusnya kebon buahnya Pak, tidak perlu dikasih pupuk atau tidak usah takut dicuri orang. Tinggal pergi ke Supermarket, banyak buah-buahan impor segar atau yang dikaleng”.
Dia menambahkannya dengan nada geram :” Yah asal sanggup bayar, apapun ada di Jakarta sekarang Pak “
Kemudian saya bertanya:” Kalau sudah gedongan semua kemana perginya penduduk asli yang disebut orang Betawi ?”
“ Wah makin terdesak makin jauh. Kebanyakannya pindah ke daerah Depok” jawabnya
“ Mulai dari Tanah Abang, Kebayoran Lama,. Pasar Mingggu orang Betawinya sudah tidak ada. Semua orang pendatang dari daerah lain. Juga banyak orang asingnya, Pak” keluhnya.
“ Rupanya sudah dimana-mana begitu Bung Saman, coba saja lihat disini, penduduk asli orang Indiannya. Selama Anda tinggal disini pernah melihat atau berjumpa dengan orang Indian?” jawab saya berusaha untuk menghiburnya sedikit.
Kemudian saya tambahkan :” Lha kita-kita ini khan pendatang semua, mengambil alih Manhattan. ”
“ Nah kalau Anda merasa diri terusir dari Pangkalan Jati oleh pendatang-pendatang, khan sama saja sepertinya sekarang ini Anda mengusir orang-orang Indian disini ??” tanya saya kepadanya.
Diapun termenung sebentar kemudian berkata :” Betul juga , ya Pak”
“Tapi memang begitu dinegara manapun risikonya kalau mau menjadi kota Metropolis. Laksana magnet menarik segala macam manusia dari berbagai bangsa” saya katakan dengan maksud agar dia tidak berkecil hati.
“Tetapi kalau mereka mempunyai penglihatan kedepan serta menyiapkan diri jauh-jauh sebelumnya mungkin mereka tidak akan terdesak” saya teruskan..
“Daripada menjauhkan diri mereka seharusnya ikut dalam kancah kemajuan jaman. Sekolah terus sampai lulus Perguruan Tinggi umpamanya, ikut aktip dalam kehidupan masyarakat setempat. Harus menjadi bagian dari kemajuan kota ini. Apa itu dalam business, keseniandan kebudayaan atau dalam pendidikan, betul tidak Bung Saman” tanyaku .
“ Betul sekali pak” jawabnya penuh semangat.
“ Nah penduduk asli Ibu Kota yang menamakan dirinya Orang Betawi, harus menyalahkan dirinya sendiri karena apa mereka menjadi tersingkir” saya lanjutkan.
“Begitu tanahnya dijual dengan harga mahal, kemudian menjauh membeli tanah lagi, sudah itu sisa uangnya dibelikan motor, setiap anak satu motor, naik haji lagi berkali-kali, kemudian punya istri muda. Makan dari hasil jual tanah sampai uang habis” saya teruskan.
“ Coba kalau uangnya diputarkan untuk usaha, atau anak-anaknya disekolahkan bukannya dikasih motor, mungkin keadaanya lain lagi tidak seperti sekarang”saya berhenti menunggu komentarnya. Diapun termenung rupanya ada kebenarannya dalam apa yang saya katakan tadi.

.Masih juga dia terdiam, padahal kereta mulai berjalan pelahan memasuki stasion dimana saya harus turun.
“ Sampai disini saja dulu Bung Saman, saya turun di stasion ini” saya katakan dengan suara agak keras diantara suara nyaring rem kereta.
Kami salaman, saya keluar dari gerbong kereta. Baru teringat saya lupa menyebutkan nama saya. Dalam hati saya berkata :” Biarlah, tidak tahu nama saya tak apa asal dia ingat isi percakapan selama dalam perjalanan”. Apa sih nama ??


MangSi