Percakapan di Subway.
Sewaktu pulang dari Manhattan ke rumah, kebetulan hari itu saya duduk digerbong paling belakang. Setelah melewati Queens Plaza Station ternyata kereta yang biasanya Express ini berjalan di rel local. Dengan sendirinya yang biasanya memakan waktu 20 menit waktu perjalanan sekarang menjadi 40 menit karenanya.
Di depan saya duduk seorang anak muda, beberapa kali dia menatap muka saya. Saya pura-pura tidak melihatnya. Di stasiun Steinway, dua sejoli yang duduk disebelah saya turun. Si anak muda kemudian pindah duduk disebelah saya dan berkata: “ Bapak dari Indonesia ya Pak ?”
Saya jawab kembali :” Betul, saya asal dari Bandung”
Dengan muka senang dia berkata :” Oh, saya pernah sekolah di Bandung setahun lamanya ”
“ Disekolah apa Bung…eeehh siapa nama Anda ?”
Dengan cepat dia menjawa:“ Oh maaf Pak, lupa saya mengenalkan diri “ dia kelihatan agak gugup mungkin karena malu atau takut dianggap anak tidak tahu aturan.
Kemudian dia melanjutkannya :” Saya, Saman asal dari Jakarta dari Pangkalan Jati “
Dia tidak menanyakan nama saya, mungkin dia mengharap saya mengenalkan diri.
Kemudian saya teruskan percakapan dengan berkata seolah-olah saya pernah tinggal di kampungnya: “ Oh dari Pangkalan Jati, masih banyak pohon-pohon buah-buahannya. Kalau tidak salah daerah itu penghasil buah-buah terutama papaya ”
Dengan nada kecewa dia menjawab:” Tidak begitu banyak pohon buah-buahan lagi Pak. Sekarang banyak sekali gedong-gedong mewah, pohon-pohonnya diganti dengan pohon hias.”
“ Wah, kalau menanam pohon hias apa yang bisa dimakan “ jawab saya agak berkelakar.
Diapun tersenyum :” Tapi pohon hiasnya dirumah orang-orang kaya, mereka rupanya lebih senang makan buah kaleng atau apple dari Australi, daripada hasil dari pohonnya sendiri”
Kemudian dia melanjutkan:” Tidak perlu susah-susah mengurusnya kebon buahnya Pak, tidak perlu dikasih pupuk atau tidak usah takut dicuri orang. Tinggal pergi ke Supermarket, banyak buah-buahan impor segar atau yang dikaleng”.
Dia menambahkannya dengan nada geram :” Yah asal sanggup bayar, apapun ada di Jakarta sekarang Pak “
Kemudian saya bertanya:” Kalau sudah gedongan semua kemana perginya penduduk asli yang disebut orang Betawi ?”
“ Wah makin terdesak makin jauh. Kebanyakannya pindah ke daerah Depok” jawabnya
“ Mulai dari Tanah Abang, Kebayoran Lama,. Pasar Mingggu orang Betawinya sudah tidak ada. Semua orang pendatang dari daerah lain. Juga banyak orang asingnya, Pak” keluhnya.
“ Rupanya sudah dimana-mana begitu Bung Saman, coba saja lihat disini, penduduk asli orang Indiannya. Selama Anda tinggal disini pernah melihat atau berjumpa dengan orang Indian?” jawab saya berusaha untuk menghiburnya sedikit.
Kemudian saya tambahkan :” Lha kita-kita ini khan pendatang semua, mengambil alih Manhattan. ”
“ Nah kalau Anda merasa diri terusir dari Pangkalan Jati oleh pendatang-pendatang, khan sama saja sepertinya sekarang ini Anda mengusir orang-orang Indian disini ??” tanya saya kepadanya.
Diapun termenung sebentar kemudian berkata :” Betul juga , ya Pak”
“Tapi memang begitu dinegara manapun risikonya kalau mau menjadi kota Metropolis. Laksana magnet menarik segala macam manusia dari berbagai bangsa” saya katakan dengan maksud agar dia tidak berkecil hati.
“Tetapi kalau mereka mempunyai penglihatan kedepan serta menyiapkan diri jauh-jauh sebelumnya mungkin mereka tidak akan terdesak” saya teruskan..
“Daripada menjauhkan diri mereka seharusnya ikut dalam kancah kemajuan jaman. Sekolah terus sampai lulus Perguruan Tinggi umpamanya, ikut aktip dalam kehidupan masyarakat setempat. Harus menjadi bagian dari kemajuan kota ini. Apa itu dalam business, keseniandan kebudayaan atau dalam pendidikan, betul tidak Bung Saman” tanyaku .
“ Betul sekali pak” jawabnya penuh semangat.
“ Nah penduduk asli Ibu Kota yang menamakan dirinya Orang Betawi, harus menyalahkan dirinya sendiri karena apa mereka menjadi tersingkir” saya lanjutkan.
“Begitu tanahnya dijual dengan harga mahal, kemudian menjauh membeli tanah lagi, sudah itu sisa uangnya dibelikan motor, setiap anak satu motor, naik haji lagi berkali-kali, kemudian punya istri muda. Makan dari hasil jual tanah sampai uang habis” saya teruskan.
“ Coba kalau uangnya diputarkan untuk usaha, atau anak-anaknya disekolahkan bukannya dikasih motor, mungkin keadaanya lain lagi tidak seperti sekarang”saya berhenti menunggu komentarnya. Diapun termenung rupanya ada kebenarannya dalam apa yang saya katakan tadi.
.Masih juga dia terdiam, padahal kereta mulai berjalan pelahan memasuki stasion dimana saya harus turun.
“ Sampai disini saja dulu Bung Saman, saya turun di stasion ini” saya katakan dengan suara agak keras diantara suara nyaring rem kereta.
Kami salaman, saya keluar dari gerbong kereta. Baru teringat saya lupa menyebutkan nama saya. Dalam hati saya berkata :” Biarlah, tidak tahu nama saya tak apa asal dia ingat isi percakapan selama dalam perjalanan”. Apa sih nama ??
MangSi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment