Saturday, July 30, 2005

Lho lyrics-nya kok lain ?

Sebuah prosa diilhami oleh tulisan Ibunya Irfan.

Lho lyrics-nya kok lain??


Hari itu, Ibu Guru mengajak kelas untuk berusaha menggali kembali kebudayaan sendiri.
Dia mulai berceritera mengenai Gending, kemudian lagu-lagunya, mulai dari Maskumambang sampai Wirangrong. Ibu Guru menjelaskan maksud-maksud dari setiap lagu-lagu itu. Kemudian Ibu Guru memberi contoh dengan lyrics, serta menyanyikan lagu Mijil.
Sepulang dari sekolah, aku langsung menemui Ibuku yang sedang duduk diberanda belakang.
“ Ibuuu “ kataku setengah berteriak.
“Ada apa nak ?” Ibuku menjawab dengan suara lembah lembut.
“Aku protes, Bu “ sahutku.
“ Protes apa , nak “ beliau menjawab keheran-heranan.
“ Tadi dikelas, saya mendapat pelajaran menyanyi lagu Mijil” kataku.
Kemudian aku mendekat ketempat Ibuku duduk. Aku taruh tas sekolahku dilantai.
“Namun lyrics-nya tidak sama seperti yang Ibu jelaskan “ ujarku lagi.
Ibu tersenyum, kemudian Ibuku berdiri dari tempat duduknya. Membungkuk mengambil tas sekolahku. Kemudian berjalan menghampiriku dan menyerahkan tas sekolahku ditanganku.
“Oooh itu” kata beliau
“Nantilah Ibu terangkan, sekarang ganti pakain dahulu sudah itu makan” Ibuku melajutkan pembicaraanya.
“Tidak Ibu, saya tidak akan makan dahulu sebelum Ibu menjelaskannya” sahutku.
“Baiklah kalau begitu” beliau menjawab.
Ibuku kembali menuju ketempat duduknya, kemudian dia mengangkat kedua tangannya menyuruh aku datang kepadanya.
“ Baiklah, nak. duduklah dekat ku “ ujarnya pula.
Kemudian beliau melanjutkannya:” Kalau tidak salah ingat, Ibu pernah berbicara bahwa semua karya pujangga itu penuh dengan filsafah kehidupan sehari-hari.”
Beliau berhenti sebentar, kemudian menarik nafas. Rupanya sedang mengingat-ingat apa yang pernah beliau katakan kepadaku.
“ Mulai dari dalam kandungan Ibu sampai dengan liang kubur. “ beliau melajutkannya. Kemudian dia menatap wajahku, dan membetulkan rambutku yang mengurai kemuka.
“ Namun demikian, Nak, kehidupan itu bukan hanya prosesnya, tapi juga masalah kehidupan itu sendiri.”
Beliau kembali berhenti berbicara, kemudian merubah duduknya menghadap kepadaku dan menatap wajahku lagi.
“ Kehidupan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Setiap insan mempunyai masalah yang berbeda” ucapnya.
“Nah setiap tahap itu, para pujangga tidak tertinggalkan dalam karyanya, maka lahirlah gending-gending itu “ ucapan Ibuku dengan nada yang sabar.
Kemudian beliau memindahkan tas sekolahku yang aku taruh diatas pangkuanku. Beliau mengasih aba-aba untuk lebih mendekat lagi kepadanya.
Kemudian beliau berkata:“ Dari gending-gending itu lahir lyrics seperti apa yang kamu katakan itu.”
Ibuku memberikan contoh-contoh seperti, lagu Pucung sebagai “tebakan”. Lagu Pucung yang lyrics-nya memberikan gambaran kehidupan. Seperti, Semar yang digambarkan sebagai Punakawan, tetapi nasehat-nasehatnya mengenai kehidupan itu tinggi dan dalam sekali.
Lagu Pucung sebagai nasehat atau pelajaran.
“ Dalam tahap-tahap itu,mengandung makna bahwa boleh memiliki ilmu setinggi mungkin.” Kata Ibuku. Beliau berhenti berbicara dan membereskan rambutnya yang terurai panjang.
“Namun harus mengamalkan ilmumu itu untuk kebahagiaan dirimu dan keluargamu” belaiu berkata dengan pandangan mata seolah-olah bertanya apa aku mengerti atau tidak akan penjelasan beliau itu.
“Dan ingatlah bahwa kita akan menghadap kapada-NYA dengan amalan kita masing-masing” ucap nya.
“ Nah itulah , nak, apa yang Ibumu masih ingat, bahwa para pujangga kita itu luhur-luhur.” Beliau berhenti sejenak dan kemudian melanjutkannya.
“Seperti pepatah, carilah ilmu walaupun ke negeri Cina. Tetapi sebenarnya disekeliling kita masih banyak ilmu yang terpendam, menunggu untuk digali “ selesai berkata begitu, Ibuku berdiri dari kursi dan memegang tanganku berjalan kedalam rumah. Aku masuk kekamarku untuk berganti pakaian. Ibuku langsung ke dapur menyediakan makanan. Dalam hatiku aku tetap bertanya, karena apa lyrics kok berbeda-beda, apa demikian juga dengan hidupku kelak akan berubah?
Dari dapur terdengar suara halus berirama, rupanya Ibuku menyanyikan apa yang diajarkan Nenekku kepadanya.

Lagu Maskumambang berkumandang
Dinyanyikan oleh dayang-dayang
Menghibur putri yang sedang mengandung
Agar jabang bayi lahir beruntung

Lagu Mijil dinyanyikan untuk sang Putri
Sewaktu melahirkan sang bayi
Sebagai hiburan mengalami nyeri
Yang diderita hanya oleh dirinya sendiri

Lagu Kinanti dilagukan karena cinta
Kepada bayi yang mulai mengenal dunia
Secara perlahan mengenali Ibu dan Bapa
Mengharap cinta kasih yang mesra dari berdua

Lagu Sinom dinyanyikan anak sudah muda belia
Membukakan mata akan kehidupan dunia yang nyata
Berkenalan dengan teman dan sanak saudara
Mempersiapkan diri mengarungi kehidupan didunia

Lagu Asmorandana dinaynyikan dikala anak menjadi dewasa
Memilih kawan hidup untuk selamanya
Didasarkan kasih sayang dan cinta mesra
Dalam menuju ke jenjang Rumah Tangga

Lagu Gambuh berkumandang diudara
Mengiringi keputusan untuk mempersunting sang dara
Dengan meminang pilihan hati dengan gembira
Sebagai pelambang kesucian hati dan rasa cinta

Lagu Durmo kembali dinyanyikan
Sewaktu kedua mempelai naik kepelaminan
Tanda akan syahnya suatu perkawinan
Saatnya keduanya menguatkan tali ikatan

Lagu Dandang Gulo adalah berikutnya
Cobaan dalam saling memberi jiwa raga
Memberi tanpa mengharap imbalannya
Sebagai bukti akan kuatnya dalam bercinta

Lagu Giriso menempati tempat istimewa
Kadang terasa risi dan cemas didalam dada
Apakah betul-betul anaku bahagia
Apakah terpenuhi kebutuhan hidupnya

Lagu Pangkur diciptakan untuk manusia
Yang telah mengalami hidup secukupnya didunia
Yang terbuka mata, hidup ini tidak mengumpulkan dunia saja
Suatu waktu akan meninggalkan dunia

Lagu Megatruh mengelu-elukan kedatangan Malaikat
Dimana saat jiwa akan diangkat
Dimana raga ditinggalkan untuk dirawat
Oleh sekalian keluarga dan kerabat

Lagu Pucung dinyanyikan sebagai tanda
Supaya jenazah dimandikan menurut Agama
Dibungkus kain kafan dari kaki ke ujung kepala
Tanda bahwa pulang itu tidak membawa apa-apa

Lagu Wirangrong adalah lagu penutup
Usailah masa hidup
Wirang artinya mengerti atau tahu cara hidup
Rong artinya lubang kubur dimana riwayat ditutup

MangSi

Percakapan di Subway

Percakapan di Subway.

Sewaktu pulang dari Manhattan ke rumah, kebetulan hari itu saya duduk digerbong paling belakang. Setelah melewati Queens Plaza Station ternyata kereta yang biasanya Express ini berjalan di rel local. Dengan sendirinya yang biasanya memakan waktu 20 menit waktu perjalanan sekarang menjadi 40 menit karenanya.

Di depan saya duduk seorang anak muda, beberapa kali dia menatap muka saya. Saya pura-pura tidak melihatnya. Di stasiun Steinway, dua sejoli yang duduk disebelah saya turun. Si anak muda kemudian pindah duduk disebelah saya dan berkata: “ Bapak dari Indonesia ya Pak ?”
Saya jawab kembali :” Betul, saya asal dari Bandung”
Dengan muka senang dia berkata :” Oh, saya pernah sekolah di Bandung setahun lamanya ”
“ Disekolah apa Bung…eeehh siapa nama Anda ?”
Dengan cepat dia menjawa:“ Oh maaf Pak, lupa saya mengenalkan diri “ dia kelihatan agak gugup mungkin karena malu atau takut dianggap anak tidak tahu aturan.
Kemudian dia melanjutkannya :” Saya, Saman asal dari Jakarta dari Pangkalan Jati “
Dia tidak menanyakan nama saya, mungkin dia mengharap saya mengenalkan diri.
Kemudian saya teruskan percakapan dengan berkata seolah-olah saya pernah tinggal di kampungnya: “ Oh dari Pangkalan Jati, masih banyak pohon-pohon buah-buahannya. Kalau tidak salah daerah itu penghasil buah-buah terutama papaya ”
Dengan nada kecewa dia menjawab:” Tidak begitu banyak pohon buah-buahan lagi Pak. Sekarang banyak sekali gedong-gedong mewah, pohon-pohonnya diganti dengan pohon hias.”
“ Wah, kalau menanam pohon hias apa yang bisa dimakan “ jawab saya agak berkelakar.
Diapun tersenyum :” Tapi pohon hiasnya dirumah orang-orang kaya, mereka rupanya lebih senang makan buah kaleng atau apple dari Australi, daripada hasil dari pohonnya sendiri”
Kemudian dia melanjutkan:” Tidak perlu susah-susah mengurusnya kebon buahnya Pak, tidak perlu dikasih pupuk atau tidak usah takut dicuri orang. Tinggal pergi ke Supermarket, banyak buah-buahan impor segar atau yang dikaleng”.
Dia menambahkannya dengan nada geram :” Yah asal sanggup bayar, apapun ada di Jakarta sekarang Pak “
Kemudian saya bertanya:” Kalau sudah gedongan semua kemana perginya penduduk asli yang disebut orang Betawi ?”
“ Wah makin terdesak makin jauh. Kebanyakannya pindah ke daerah Depok” jawabnya
“ Mulai dari Tanah Abang, Kebayoran Lama,. Pasar Mingggu orang Betawinya sudah tidak ada. Semua orang pendatang dari daerah lain. Juga banyak orang asingnya, Pak” keluhnya.
“ Rupanya sudah dimana-mana begitu Bung Saman, coba saja lihat disini, penduduk asli orang Indiannya. Selama Anda tinggal disini pernah melihat atau berjumpa dengan orang Indian?” jawab saya berusaha untuk menghiburnya sedikit.
Kemudian saya tambahkan :” Lha kita-kita ini khan pendatang semua, mengambil alih Manhattan. ”
“ Nah kalau Anda merasa diri terusir dari Pangkalan Jati oleh pendatang-pendatang, khan sama saja sepertinya sekarang ini Anda mengusir orang-orang Indian disini ??” tanya saya kepadanya.
Diapun termenung sebentar kemudian berkata :” Betul juga , ya Pak”
“Tapi memang begitu dinegara manapun risikonya kalau mau menjadi kota Metropolis. Laksana magnet menarik segala macam manusia dari berbagai bangsa” saya katakan dengan maksud agar dia tidak berkecil hati.
“Tetapi kalau mereka mempunyai penglihatan kedepan serta menyiapkan diri jauh-jauh sebelumnya mungkin mereka tidak akan terdesak” saya teruskan..
“Daripada menjauhkan diri mereka seharusnya ikut dalam kancah kemajuan jaman. Sekolah terus sampai lulus Perguruan Tinggi umpamanya, ikut aktip dalam kehidupan masyarakat setempat. Harus menjadi bagian dari kemajuan kota ini. Apa itu dalam business, keseniandan kebudayaan atau dalam pendidikan, betul tidak Bung Saman” tanyaku .
“ Betul sekali pak” jawabnya penuh semangat.
“ Nah penduduk asli Ibu Kota yang menamakan dirinya Orang Betawi, harus menyalahkan dirinya sendiri karena apa mereka menjadi tersingkir” saya lanjutkan.
“Begitu tanahnya dijual dengan harga mahal, kemudian menjauh membeli tanah lagi, sudah itu sisa uangnya dibelikan motor, setiap anak satu motor, naik haji lagi berkali-kali, kemudian punya istri muda. Makan dari hasil jual tanah sampai uang habis” saya teruskan.
“ Coba kalau uangnya diputarkan untuk usaha, atau anak-anaknya disekolahkan bukannya dikasih motor, mungkin keadaanya lain lagi tidak seperti sekarang”saya berhenti menunggu komentarnya. Diapun termenung rupanya ada kebenarannya dalam apa yang saya katakan tadi.

.Masih juga dia terdiam, padahal kereta mulai berjalan pelahan memasuki stasion dimana saya harus turun.
“ Sampai disini saja dulu Bung Saman, saya turun di stasion ini” saya katakan dengan suara agak keras diantara suara nyaring rem kereta.
Kami salaman, saya keluar dari gerbong kereta. Baru teringat saya lupa menyebutkan nama saya. Dalam hati saya berkata :” Biarlah, tidak tahu nama saya tak apa asal dia ingat isi percakapan selama dalam perjalanan”. Apa sih nama ??


MangSi